Berkunjung Ke Musium

Anggota Lisember Belajar di Musium Sulawesi Tengah

Anggota Lisember

Beberapa dari sekian anggota Lisember

Anggota Lisember

Beberapa Anggota Lisember lainnya

Penari

Beberapa Penari Lisember

Foto bersama

Anggota Lisember foto bersama Tokoh Masyarakat kulurahan Lasoani serta beberapa Sanggar Seni Kota palu

Selamat Datang Di Libu Seni Mebere Blog

Libu Seni Mebere Adalah Salah satu Organisasi pemuda yang bergerak dibidang Pelestarian Budaya dan Tradisi Luhur, Serta mengangkat Nilai - Nilai Luhur To Ri Kaili.

Misi

Melestarikan Budaya, Tradisi, Serta mengangkat Nilai - Nilai Luhur To Ri Kaili.

Rabu, 14 Januari 2015

Keterkaitan Adat dan Agama Dalam Perkawinan Suku Kaili

Hampir sebagian besar penduduk Maluku, Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Papua, prosesi perkawinannya telah dipengaruhi oleh ketiga aspek tersebut. Misalkan, orang sunda yang menikah dengan tradisi sunda Islami serta mengikuti prosedur pemerintah menyangkut tentang perkawinan. Sehingga tata cara perkawinan masyarakat Indonesia tidak terlepas dari aturan-aturan adat atau tradisi, ajaran agama dan aturan pemerintah yang menyangkut dengan perkawinan. Hakekatnya, aturan-aturan yang mengikat tersebut merupakan alat acuan dalam hal proses peminangan, jenis mas kawin, upacara perkawinan, pengaturan tempat tinggal setelah menetap, pembagian hak dan kewajiban serta sistem perkawinan yang dianut.

Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul mana kala ada sebuah kebudayaan asing yang masuk dan kebudayaan itu diterima serta diolah oleh suatu kelompok masyarakat tanpa menghilangkan ciri khas kebudayaan masyarakat itu sendiri. Akulturasi merupakan sebuah istilah dalam ilmu sosiologi yang berarti pengambil alihan unsur-unsur kebudayaan lain. Akulturasi terjadi karena adanya keterbukaan suatu masyarakat.

Terjadinya akulturasi dapat dilihat pada prosesi upacara adat perkawinan suku Kaili, misalnya dalam proses pelamaran secara aturan adat namun tetap disertakan Al-Qur'an sebagai dasar Agama Islam dan dihadiri oleh tokoh adat dan tokoh agama dari kedua belah pihak calon mempelai. Kemudian pakaian pengantin yang digunakan adalah baju Fatimah, yaitu pakaian adat yang dibawa oleh Syekh Abdul Raqie (Dato Karama)sebagai penyebar agama Islam pertama di Lembah Palu, pakaian ini adalah pakaian yang menutupi semua aurat atau bagian tubuh yang harus ditutupi dalam syariat agama Islam dan menggunakan kerudung atau selendang sebagai penutup kepala bagi perempuan.

Meskipun keseluruhan prosesi upacara pernikahan tersebut berdasarkan aturan adat Suku Kaili namun di dalamnya juga banyak dipengaruhi oleh nilai Keislaman, hal tersebut dapat kita lihat dalam do'a-do'a yang diucapkan oleh para pelaku di dalamnya, seperti dalam prosesi netambuli yakni prosesi sebelum rombongan laki-laki masuk atau naik tangga rumah terlebih dahulu dilakukan dialog yang saling berbalasan antara pihak laki-laki dan dari pihak perempuan yang didahului oleh pihak laki-laki yaitu “Assalamualaikum Ya Fatimah” Kemudian dijawab dari pihak perempuan “Waalikumsalam Ya Ali”. Kemudian dilanjutkan dengan dialog selanjutnya.

Tahapan dari rangkain Proses Upacara adat Perkawinan suku Kaili dari sebelum sampai masuknya Agama Islam ke lembah Palu sampai sekarang tidak terlalu banyak mengalami perubahan. Tetapi dalam pelaksanaan prosesi tersebut telah disesuaikan dengan unsur-unsur syari’at Islam setelah masyarakat sudah memeluk agama Islam, terutama setelah kedatangan Syekh Abudulah Raqie (Datuk Karama) seorang Ulama penyebar agama Islam sekitar abad ke-17 Masehi, yag kemudia dilsusul oleh Sayyid Idrus Al-Jufri yag kemudia dikeal degan sebutan Guru Tua oleh masyarakat lembah Palu yang berdakwah di Palu dalam rentang waktu 1930-1969 degan medirikan lembaga pendidikan yang dikenal dengan Al-Khairaat.

Proses pelaksaan upacara perkawinan suku Kaili terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu ; sebelum Perkawinan, pelaksanaan Pernikahan dan setelah perkawinan:

  1. Tahap sebelum perkawinan terdiri dari; peminangan, mengantar harta, mandi uap, merapikan dan kolontigi.
  2. Tahap pelaksanaan pernikahan terdiri dari; mengantar pengantin, netambuli, neulu cinde, ijab qobul, membatalkan air wudhu, duduk bersanding dan saling menyuapi. 
  3. Tahapan sesudah perkawinan terdiri dari; mandiu pasili dan nematu’a.

Manusia dan kebudayaan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan suatu masyarakat, sebab kebudayaan merupakan implementasi dari segenap aktifitas manusia untuk menciptakan sesuatu, baik dalam wujud kebudayaan maupun dalam bentuk tingkahlaku yang diwariskan secara turun temurun sebagai suatu tatanan sosial budaya yang harus ditaati sebagai bagian dari warisan leluhur yang perlu dipertahankan dan dilestarikan keberadaannya sebagai eksistensi bagi masyarakat pendukungnya. Perkawinan bagi masyarakat Suku Kaili pada umumnya, merupakan salah satu aspek upacara tradisional dari sejumlah aspek yang ada yang masih dijunjung tinggi, meskipun kehidupan modern sudah merasuk di dalam tatanan kehidupan masyarakatnya, karena perkawinan secara Adat mempunyai dasar dan ketentuan khusus yang mewarnai sendi-sendi kehidupan masyarakat yang masih tetap terlihat sampai sekarang dan tetap dipatuhi serta dipertahankan eksistensinya. Kendatipun demikian Segala bentuk prosesi adat tersebut sudah disandingkan dan disesuaikan dengan aturan agama Islam setelah agama Islam masuk dan menjadi agama mayoritas bagi masyarakat suku Kaili di lembah Palu.

Dalam kebudayaan masyarakat Suku Kaili menilai bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang wajib dilakukan oleh setiap manusia sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap Allah SWT yang telah menciptakan manusia berpasang-pasangan sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa terhadap-Nya. Mengenai hal tersebut Allah SWT menerangkan dalam Firman-Nya (QS. Al-Hujurat [49]: 13);

أَكْرَمَكُمْ إِنَّ لِتَعَارَفُوا وَقَبَائِلَ شُعُوبًا وَجَعَلْنَاكُمْ وَأُنْثَى ذَكَرٍ مِنْ خَلَقْنَاكُمْ إِنَّا النَّاسُ أَيُّهَا يَا . لحجراتا خَبِيرٌ عَلِيمٌ اللَّهَ إِنَّ أَتْقَاكُمْ اللَّهِ عِنْدَ

‘Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal, Sesungguhnya orang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal’ (QS. Al Hujurat [49]: 13).

Akulturasi antara agama Islam dan budaya lokal dapat juga dilihat pada sambulugana yang menjadi dasar kekuatan Adat bagi masyarakat suku Kaili. Seperti yang dijabarkan oleh Bapak Rusdin (Pelaku Adat) ; Jika di dalam ajaran agama Islam memiliki lima dasar kekuatan agama, yakni terdapat pada Sahadat lima waktu ; Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya, di dalam adat Kaili juga memiliki dasar kekuatan adat yang terdapat dalam sambulugana yakni ; Sirih, Pinang, Kapur Sirih, Tembakau dan Gambir. Yang mana masing-masing menyimbolkan manusia secara utuh. Sirih menyimbolkan Urat, Pinang menyimbolkan jantung, kapur sirih menyimbolkan sumsung dan otak, tembakau menyimbolkan bulu, dan gambir menyimbolkan hati. Yang mana ketika kesemuanya dicampur dan dimakan secara bersamaan maka mneghasilkan sari makanan yang berwarna merah yang mengartikan darah yang mengalir ke seluruh tubuh hingga menghidupkan manusia secara utuh. Sambulugana tersebut juga diyakini sebagai obat tradisional dalam kepercayaan masyarakat Suku Kaili.

Sambulugana dipercayai masyarakat suku Kaili sebagai simbol manifestasi bahwa leluhur mereka beasal dari kayangan yang disebut Tomanuru atau manusia yang turun ke bumi dan sekaligus sebagai penghargaan mereka bahwa leluhurnya pemakan sirih pinang, yang dalam ajaran agama Islam disandarkan kepada Nabi Adam As. yang mana kata “Adat” itu sendiri berasal dari kata “Ada atau Adam” yang disandarkan kepada turunnya atau adanya Nabi Adam sebagai seorang Tomanuru yang diyakini sebagai leluhur orang kaili yang berasal dari kayangan atau Akhirat dalam istilah agama Islam.

Dengan hadirnya Agama Islam sebagai penuntun yang meluruskan kepercayaan-kepercayaan akan mitos tersebut maka dimurnikanlah kepercayaan-kepercayaan itu menjadi sebuah keyakinan yang hakiki bahwa segala sesuatu hanya disandarkan kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Adat sebagai aturan yang mengikat begutu pula Agama yang bersisi aturan-aturan hidup dan dalam perkembangannya dalam masyarakat Kaili Adat dan Agama adalah dua hal yang tidaklah saling bertentangan tetapi saling menguatkan satu sama lain.

Bapak Hidayat selaku tokoh budaya sekaligus Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BALITBANGDA) Sulawesi Tengah menambahkan, bahwa sambulugana atau seperangkat sirih pinang tersebut merupakan do’a yang bisu bagi masyarakat suku Kaili. Yang mana do’a tersebut tersirat dalam sari makanan dari tumbuh-tumbuhan herbal tersebut yang dimaksudkan menjadi kekuatan seorang manusia seutuhnya baik jiwa dan raga yang disandarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam hal ini berdasarkan ajaran agama Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat Lembah Palu, keyakinan secara hakiki bahwa segala sesuatu hanya disandarkan kepada Allah SWT. Maka dalam setiap iven atau kegiatan yang berkaitan dengan Adat Istiadatnya suku Kaili biasanya selalu menyediakan sambulugana.

Dalam wawancara dengan Imam Masjid Baiturrahman Kelurahan Lasoani, Bapak Adulin mengatakan bahwa dalam hal upacara perkawinan Keterkaitan antara aturan adat dan agama saling menguatkan satu sama lain. Karena dari aturan adat itu sendiri memiliki nilai yang sangat mendalam dalam persiapan suatu keluarga baru karena aturan-aturan tersebut akan menjadi modal awal secara lahir dan batin bagi keluarga baru dalam menjalani suatu rumah tangga. Sedangkan jika dilihat dari sisi Keislaman hal tersebut telah sejalan dengan anjuran-anjuran agama tentang pernikahan dalam ajaran Islam, hanya saja yang perlu digaris bawahi dalam semua prosesi tersebut adalah kelurusan akidah pelaksananya harus disandarkan hanya kepada Allah SWT. berdasarkan tuntunan Agama Islam.


Sumber : Skripsi Muhammad Safi'in S.Ud (IAIN 2014)