Berkunjung Ke Musium

Anggota Lisember Belajar di Musium Sulawesi Tengah

Anggota Lisember

Beberapa dari sekian anggota Lisember

Anggota Lisember

Beberapa Anggota Lisember lainnya

Penari

Beberapa Penari Lisember

Foto bersama

Anggota Lisember foto bersama Tokoh Masyarakat kulurahan Lasoani serta beberapa Sanggar Seni Kota palu

Selamat Datang Di Libu Seni Mebere Blog

Libu Seni Mebere Adalah Salah satu Organisasi pemuda yang bergerak dibidang Pelestarian Budaya dan Tradisi Luhur, Serta mengangkat Nilai - Nilai Luhur To Ri Kaili.

Misi

Melestarikan Budaya, Tradisi, Serta mengangkat Nilai - Nilai Luhur To Ri Kaili.

Rabu, 14 Januari 2015

Keterkaitan Adat dan Agama Dalam Perkawinan Suku Kaili

Hampir sebagian besar penduduk Maluku, Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Papua, prosesi perkawinannya telah dipengaruhi oleh ketiga aspek tersebut. Misalkan, orang sunda yang menikah dengan tradisi sunda Islami serta mengikuti prosedur pemerintah menyangkut tentang perkawinan. Sehingga tata cara perkawinan masyarakat Indonesia tidak terlepas dari aturan-aturan adat atau tradisi, ajaran agama dan aturan pemerintah yang menyangkut dengan perkawinan. Hakekatnya, aturan-aturan yang mengikat tersebut merupakan alat acuan dalam hal proses peminangan, jenis mas kawin, upacara perkawinan, pengaturan tempat tinggal setelah menetap, pembagian hak dan kewajiban serta sistem perkawinan yang dianut.

Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul mana kala ada sebuah kebudayaan asing yang masuk dan kebudayaan itu diterima serta diolah oleh suatu kelompok masyarakat tanpa menghilangkan ciri khas kebudayaan masyarakat itu sendiri. Akulturasi merupakan sebuah istilah dalam ilmu sosiologi yang berarti pengambil alihan unsur-unsur kebudayaan lain. Akulturasi terjadi karena adanya keterbukaan suatu masyarakat.

Terjadinya akulturasi dapat dilihat pada prosesi upacara adat perkawinan suku Kaili, misalnya dalam proses pelamaran secara aturan adat namun tetap disertakan Al-Qur'an sebagai dasar Agama Islam dan dihadiri oleh tokoh adat dan tokoh agama dari kedua belah pihak calon mempelai. Kemudian pakaian pengantin yang digunakan adalah baju Fatimah, yaitu pakaian adat yang dibawa oleh Syekh Abdul Raqie (Dato Karama)sebagai penyebar agama Islam pertama di Lembah Palu, pakaian ini adalah pakaian yang menutupi semua aurat atau bagian tubuh yang harus ditutupi dalam syariat agama Islam dan menggunakan kerudung atau selendang sebagai penutup kepala bagi perempuan.

Meskipun keseluruhan prosesi upacara pernikahan tersebut berdasarkan aturan adat Suku Kaili namun di dalamnya juga banyak dipengaruhi oleh nilai Keislaman, hal tersebut dapat kita lihat dalam do'a-do'a yang diucapkan oleh para pelaku di dalamnya, seperti dalam prosesi netambuli yakni prosesi sebelum rombongan laki-laki masuk atau naik tangga rumah terlebih dahulu dilakukan dialog yang saling berbalasan antara pihak laki-laki dan dari pihak perempuan yang didahului oleh pihak laki-laki yaitu “Assalamualaikum Ya Fatimah” Kemudian dijawab dari pihak perempuan “Waalikumsalam Ya Ali”. Kemudian dilanjutkan dengan dialog selanjutnya.

Tahapan dari rangkain Proses Upacara adat Perkawinan suku Kaili dari sebelum sampai masuknya Agama Islam ke lembah Palu sampai sekarang tidak terlalu banyak mengalami perubahan. Tetapi dalam pelaksanaan prosesi tersebut telah disesuaikan dengan unsur-unsur syari’at Islam setelah masyarakat sudah memeluk agama Islam, terutama setelah kedatangan Syekh Abudulah Raqie (Datuk Karama) seorang Ulama penyebar agama Islam sekitar abad ke-17 Masehi, yag kemudia dilsusul oleh Sayyid Idrus Al-Jufri yag kemudia dikeal degan sebutan Guru Tua oleh masyarakat lembah Palu yang berdakwah di Palu dalam rentang waktu 1930-1969 degan medirikan lembaga pendidikan yang dikenal dengan Al-Khairaat.

Proses pelaksaan upacara perkawinan suku Kaili terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu ; sebelum Perkawinan, pelaksanaan Pernikahan dan setelah perkawinan:

  1. Tahap sebelum perkawinan terdiri dari; peminangan, mengantar harta, mandi uap, merapikan dan kolontigi.
  2. Tahap pelaksanaan pernikahan terdiri dari; mengantar pengantin, netambuli, neulu cinde, ijab qobul, membatalkan air wudhu, duduk bersanding dan saling menyuapi. 
  3. Tahapan sesudah perkawinan terdiri dari; mandiu pasili dan nematu’a.

Manusia dan kebudayaan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan suatu masyarakat, sebab kebudayaan merupakan implementasi dari segenap aktifitas manusia untuk menciptakan sesuatu, baik dalam wujud kebudayaan maupun dalam bentuk tingkahlaku yang diwariskan secara turun temurun sebagai suatu tatanan sosial budaya yang harus ditaati sebagai bagian dari warisan leluhur yang perlu dipertahankan dan dilestarikan keberadaannya sebagai eksistensi bagi masyarakat pendukungnya. Perkawinan bagi masyarakat Suku Kaili pada umumnya, merupakan salah satu aspek upacara tradisional dari sejumlah aspek yang ada yang masih dijunjung tinggi, meskipun kehidupan modern sudah merasuk di dalam tatanan kehidupan masyarakatnya, karena perkawinan secara Adat mempunyai dasar dan ketentuan khusus yang mewarnai sendi-sendi kehidupan masyarakat yang masih tetap terlihat sampai sekarang dan tetap dipatuhi serta dipertahankan eksistensinya. Kendatipun demikian Segala bentuk prosesi adat tersebut sudah disandingkan dan disesuaikan dengan aturan agama Islam setelah agama Islam masuk dan menjadi agama mayoritas bagi masyarakat suku Kaili di lembah Palu.

Dalam kebudayaan masyarakat Suku Kaili menilai bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang wajib dilakukan oleh setiap manusia sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap Allah SWT yang telah menciptakan manusia berpasang-pasangan sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa terhadap-Nya. Mengenai hal tersebut Allah SWT menerangkan dalam Firman-Nya (QS. Al-Hujurat [49]: 13);

أَكْرَمَكُمْ إِنَّ لِتَعَارَفُوا وَقَبَائِلَ شُعُوبًا وَجَعَلْنَاكُمْ وَأُنْثَى ذَكَرٍ مِنْ خَلَقْنَاكُمْ إِنَّا النَّاسُ أَيُّهَا يَا . لحجراتا خَبِيرٌ عَلِيمٌ اللَّهَ إِنَّ أَتْقَاكُمْ اللَّهِ عِنْدَ

‘Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal, Sesungguhnya orang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal’ (QS. Al Hujurat [49]: 13).

Akulturasi antara agama Islam dan budaya lokal dapat juga dilihat pada sambulugana yang menjadi dasar kekuatan Adat bagi masyarakat suku Kaili. Seperti yang dijabarkan oleh Bapak Rusdin (Pelaku Adat) ; Jika di dalam ajaran agama Islam memiliki lima dasar kekuatan agama, yakni terdapat pada Sahadat lima waktu ; Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya, di dalam adat Kaili juga memiliki dasar kekuatan adat yang terdapat dalam sambulugana yakni ; Sirih, Pinang, Kapur Sirih, Tembakau dan Gambir. Yang mana masing-masing menyimbolkan manusia secara utuh. Sirih menyimbolkan Urat, Pinang menyimbolkan jantung, kapur sirih menyimbolkan sumsung dan otak, tembakau menyimbolkan bulu, dan gambir menyimbolkan hati. Yang mana ketika kesemuanya dicampur dan dimakan secara bersamaan maka mneghasilkan sari makanan yang berwarna merah yang mengartikan darah yang mengalir ke seluruh tubuh hingga menghidupkan manusia secara utuh. Sambulugana tersebut juga diyakini sebagai obat tradisional dalam kepercayaan masyarakat Suku Kaili.

Sambulugana dipercayai masyarakat suku Kaili sebagai simbol manifestasi bahwa leluhur mereka beasal dari kayangan yang disebut Tomanuru atau manusia yang turun ke bumi dan sekaligus sebagai penghargaan mereka bahwa leluhurnya pemakan sirih pinang, yang dalam ajaran agama Islam disandarkan kepada Nabi Adam As. yang mana kata “Adat” itu sendiri berasal dari kata “Ada atau Adam” yang disandarkan kepada turunnya atau adanya Nabi Adam sebagai seorang Tomanuru yang diyakini sebagai leluhur orang kaili yang berasal dari kayangan atau Akhirat dalam istilah agama Islam.

Dengan hadirnya Agama Islam sebagai penuntun yang meluruskan kepercayaan-kepercayaan akan mitos tersebut maka dimurnikanlah kepercayaan-kepercayaan itu menjadi sebuah keyakinan yang hakiki bahwa segala sesuatu hanya disandarkan kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Adat sebagai aturan yang mengikat begutu pula Agama yang bersisi aturan-aturan hidup dan dalam perkembangannya dalam masyarakat Kaili Adat dan Agama adalah dua hal yang tidaklah saling bertentangan tetapi saling menguatkan satu sama lain.

Bapak Hidayat selaku tokoh budaya sekaligus Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BALITBANGDA) Sulawesi Tengah menambahkan, bahwa sambulugana atau seperangkat sirih pinang tersebut merupakan do’a yang bisu bagi masyarakat suku Kaili. Yang mana do’a tersebut tersirat dalam sari makanan dari tumbuh-tumbuhan herbal tersebut yang dimaksudkan menjadi kekuatan seorang manusia seutuhnya baik jiwa dan raga yang disandarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam hal ini berdasarkan ajaran agama Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat Lembah Palu, keyakinan secara hakiki bahwa segala sesuatu hanya disandarkan kepada Allah SWT. Maka dalam setiap iven atau kegiatan yang berkaitan dengan Adat Istiadatnya suku Kaili biasanya selalu menyediakan sambulugana.

Dalam wawancara dengan Imam Masjid Baiturrahman Kelurahan Lasoani, Bapak Adulin mengatakan bahwa dalam hal upacara perkawinan Keterkaitan antara aturan adat dan agama saling menguatkan satu sama lain. Karena dari aturan adat itu sendiri memiliki nilai yang sangat mendalam dalam persiapan suatu keluarga baru karena aturan-aturan tersebut akan menjadi modal awal secara lahir dan batin bagi keluarga baru dalam menjalani suatu rumah tangga. Sedangkan jika dilihat dari sisi Keislaman hal tersebut telah sejalan dengan anjuran-anjuran agama tentang pernikahan dalam ajaran Islam, hanya saja yang perlu digaris bawahi dalam semua prosesi tersebut adalah kelurusan akidah pelaksananya harus disandarkan hanya kepada Allah SWT. berdasarkan tuntunan Agama Islam.


Sumber : Skripsi Muhammad Safi'in S.Ud (IAIN 2014)

Jumat, 29 Maret 2013

Pergelaran Seni Budaya Menyambut Hari Bumi Sedunia 22 April

Rabu, 16 Mei 2012

Tarian Pesindo



Karya Lisember 2011
Tarian yang berbasis pada Tradisi Kaili dengan musik pengiring Lalove (suling Adat Khas Kaili) Ganda-ganda (Gendang) dan Kudode. bercerita tentang sebuah harapan pada sang pencipta akan datangnya cahaya kedamaian , harapan untuk selalu mendapat perlindungan dan petunjuk jalan dalam kehidupan dunia. sehingga warna warni kehidupan menyatu dalam ikatan persaudaraan yang indah seindah warna Pelangi.

Jumat, 16 Maret 2012

"Benteng Budaya" di Uwe Mebere

Sumber mata air oleh masyarakat Lasoani disebut sebagai Uwe Mebere, berada di sebelah timur jantung Kota Palu ini merupakan keunikan alam dan budaya yang mulai langka. Mata air jernih yang keluar dari akar-akar pepohonan besar yang terawat menjadi  nafas kehidupan bagi masyarakat di kaki gunung Masomba, selain memanfaatkan sumber air ini untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Uwe Mebere menjadi ruang perekat interaksi sosial ko-munitas setempat sejak dahulu. Bahkan oleh para pemuda di sana menjadi, “Benteng Budaya Lokal” dalam menghadapi serbuan budaya asing.
Suasana malam itu Sabtu, (21/11) di Uwe Mabere agak berbeda dari  malam-malam sebelumnya,  jejeran obor dari bambu berbahan bakar minyak tanah menghiasi  jalan masuk ke lokasi itu. Beberapa lampu sorot yang digantung di pepohonan mem-buat suasana malam menjadi terang benderang. Sementara di tepi aliran air terlihat beberapa tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah duduk di panggung sederhana, di bagian lain tampak orang-orang dengan rapi dan antusias duduk di atas tikar yang digelar melingkari sumber mata air itu. Di bagian sebelah timur yang agak tinggi terlihat panggung utama yang didekorasi sederhana dan sangat alami mengikuti suasana setempat.

Adalah kelompok pemuda yang tergabung dalam Libu Seni Mebere (Lisember), sebuah wadah yang terbangun dari kepedulian dan keinginan kuat untuk menjaga seni budaya lokal warisan leluhur. Wadah ini berinisiatif menjadikan Uwe Mabere sebagai ruang interaksi dan komunikasi untuk  penggalian dan pengembangan budaya lokal, dan malam itu menjadi, “Konser Budaya Kaili”, yang di gelar dalam rangka peringatan satu tahun komunitas seni ini.

Mantra,  Kordinator Kegiatan yang bertemakan, “Budayakan Hati Cintai Negeri”, ini menyatakan bila pementasan seni budaya sebagai wujud kepedulian pemuda dalam menjaga seni budaya leluhur. Selain itu dimaksudkan untuk memperkuat tali persaudaraan masyarakat Kaili. Tekad ini benar-benar tercapai melihat peserta maupun penonton yang memadati lokasi ini berasal dari berbagai wilayah di Kota Palu.

“Kegiatan ini selain untuk  tetap melestarikan seni budaya yang telah diwariskan leluhur juga untuk menja-ga semangat persaudaraan masyarakat di kota Palu,” ujarnya.

Kepala Dinas Pariwisata Kota Palu,Sudaryano Lamangkona yang  hadir pada malam itu turut memberikan apresiasi kepada komunitas seni Lisember. “Saya memberikan apresiasi kepada panitia kegiatan  ini. Event ini benar-benar menunjukan kekayaan budaya orang kaili, kita patut berbangga dengan hal ini, kedepan saya berharap kegiatan ini bisa menjadi major event untuk seni budaya di Palu,” ungkapnya saat memberikan sambutan.

Dalam pementasan yang dilangsungkan selama dua hari itu, sejumlah komunitas seni budaya tradisi di Kota Palu mementaskan berbagai pertunjukan yang menarik, seperti tarian yang terinspirasi dari ritual balia, musik etnik, lagu daerah  serta puisi. Kemeriahan pagelaran pada malam itu adalah bukti kesuksesan panitia,  tepuk tangan dan sambutan hangat penonton tidak henti-hentinya menyeruak hingga akhir acara.

Pementasan yang digelar secara swadaya oleh para pemuda yang didukung sepenuhnya oleh masyarakat Lasoani ini  adalah salah satu bukti kesungguhan untuk melestarikan dan mempromosikan budaya Kaili sekaligus merajut tali persaudaraan menjadi lebih erat.

Keindahan dan keluhuran  budaya Kaili didengungkan dari sebuah “Benteng Budaya”, To Tara yang menggaung hingga merasuk ke wilayah-wilayah lembah Palu. Sebuah tekad dan apresiasi untuk memelihara kearifan budaya masyarakat Kaili. edy 

Sumber : Majalah ESILO

Senin, 12 Maret 2012

Sifat Gotong Royong Dalam Masyarakat Suku Kaili

Salah Satu Bentuk Gotong Royong,
dalam memelihara kebersihan lingkungan
Dalam masyarakat suku kaili di temukan adanya sifat gotong royong yang telah membudaya sejak dahulu. semua pekerjaan yang membutuhkan tenaga banyak dilakukan bersama-sama atas dasar hubungan kekerabatan atau sesama warga desa. hal ini kelihatan pada upacara-upacara perkawinan, kematian, pesta adat, dalam pengolahan pertanian, peternakan, perburuan dan sebagainya. Sistem gotong royong tersebut dikenal dengan istilah Nolunu atau Sintuvu yang berarti kebersamaan atau kebersatuan.
Pada masa dahulu Nolunu ini meliputi apa yang di sebut :
  • No Evu berarti bersama-sama mengembala ternak.
  • No Sidondo berarti bekerja gotong royong dalam bidang pertanian dari jam 06.00 pagi sampai jam 11.00 siang tanpa diberi makan.
  • No Siala pale berarti bekerja gotong royong sehari penuh disawah dengan disediakan makanan.
  • No Kayu Noteba berarti bergotong royong di bidang pertukangan kayu untuk membangun rumah.
  • No Buso berarti bergotong royong di bidang pembuatan alat-alat besi ringan seperti ; pisau, kapak, parang dan lain-lain.
  • No Asu berarti bergotong royong dalam berburu menunggangi kuda dan bersenjata tombak berkait serta anjing sebagai teman dalam berburu.
  • No Nunu berarti bergotong royong dalam membuat pakaian dari kulit kayu.
  • No Vunja berarti bergotong royong dalam pelaksanaan pesta vunja (sukuran atas hasil panen). pada pesta vunja di adakan tarian besama mengelilingi tiang vunja yang di sebut morego.
No Nunu
No Buso
Dari sekian kegiatan di atas tadi pada saat sekarang tinggal beberapa diantaranya yang masih dilaksanakan, yaitu yang menyangkut kegiatan pertanian yang disebut No Siala Pale dan No Sidondo

Masyrakat kaili cukup memiliki kegairahan kerja dalam kehidupan di lingkungannya baik untuk kepentingan keluarganya, maupun untuk kepentingan bersama. aktifitas kerja yang menyangkut sarana dan prasarana desa senantiasa ada dan frekuensinya cukup tinggi. seperti kerja gotong royong membuat jalan desa, memperbaiki dan membersihkan saluran air, membangun  dan memelihara tempat ibadah, membangaun rumah, dan lain-lain.



Sumber : Buku Sistem Ekonomi Tradisional Sulawesi Tengah 1986/1987 

Kebudayaan Sebagai Kajian Antropologi Bagian I

Menurut etimologinya, istilah “Kebudayaan” berasal dari bahasa Sangsekerta yaitu “buddhayah”, bentuk jamak dari kata : buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian “Kebudayaan” dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan akal.

Selain itu ada juga yang menguraikan kata “budaya” sebagi suatu perkembangan dari kata majemuk : budi daya yang berarti daya dan budi. Karena itu orang membedakan : budaya dengan kebudayaan. Kata budaya diartikan sebagai daya dari budi yang berasal dari : cipta, rasa, karsa. Dalam ilmu antropologi istilah budaya dan kebudayaan tidak dibedakan. Kata “Budaya” di sini merupakan suatu kata yang membentuk “Kebudayaan”. Jadi kata “Budaya” dipakai sebagai suatu singkatan dari kebudayaan dengan pengertian yang sama.

Adapun kata asingnya (Inggris) disebut ”Culture”, yang berasal dari bahasa latin  “Colore” yang berarti memelihara, mengolah, mengerjakan terutama mengolah tanah. Dari pengertian ini “Culture” berkembang sebagai segala upaya dan tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merombak alam. 

Jika diuraikan secara luas, maka kebudayaan (Culture) adalah suatu yang tercipta dari tripotensi rohaniah manusia (cipta, rasa, dan karsa) yang merupakan rangkaian yang tak terpisahkan antara satu dengan yang lain.

  • Cipta merupakan potensi rohaniah yang terjelma melalui akal pikiran sehingga menghasilokan karya ilmiah yang disebut ilmu pengetahuan (logika). Cipta merupakan temuan pribadi bagi setiap individu yang berbeda antara satu dengan yang lain, yang dapatmenghasilkan karya-karya ilmiah yang mengagumkan untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia. Akan tetapi jika tidak dilandasi oloeh unsur rasa dan karsa, mak bisa mencelakakn manusia itu sendiri. 
  • Rasa, merupakan potensi rohaniah manusia yang terjelma melalui struktur fisiknya sehingga melahirkanh karya keindahan (estetika).
  • Karsa, merupakan potensi ruhaniah yang yangterjelma melalui tingkah lakunya yang melahirkan perbuatan sopan santun dan norma kesusilaan (etika). 

Tidak sedikit orang yang terjerumus ke lembah kesesatan karena hanya mengagumkan daya pikirnya atau ilmu pengetahuannya, tanpa mengfungsikan daya cipta, karya dan rasanya, tidak mempunyai etika, bahkan tidak mempunyai iman yang mengendaloikan ilmu pengetahuannya.

Demikian rumit dan luasnya pengertian yang dikanung dalam kebudayaan itu sehingga sering kali orang mengacaukan pengertiannya. Istilah “kebudayaan” bisa disamakan kedudukannya dengan kesenian, adat istiadat dan sebagainya,  sementara kesenian, adat istiadat hanyalah salah satu unsur dari sekian banyak unsur kebudayaan. Begitupun peradaban dan kebudayaan, sering juga disamakan pengertiannya oleh banyak orang yang hanya mengenal kebudayaan secara luas. 

Istilah “peradaban” yang dalam bahasa inggris disebut civilization, biasanya dipakai untuk menyebut bagian – bagian, unsur – unsur dari kebudayaan yang luas, yang telah maju, yang indah seperti ; kesenian, ilmu pengetahuan, adat istiadat, sopan santun, pergaulan dan sebagainya. Jadi istilah “peradaban” sesungguhnya bagian dari kebudayaan karena kebudayaan lebih buah jangkauannya.

Menurut pengertiannya, istilah “peradaban” berasal dari bahasa Arab yaitu “adab” yang berarti lambang – lambang komunikasi antar sesama manusia dalam bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan. Kata “adab” dalam pengertian bahasa indonesia adalah menunjuk tingkat tertentu terhadap cara – cara sekelompok manusia bertingkahlaku yang diinginkan oleh sistem nilai sosial tertentu. Barang siapa yang bertingkahlaku tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam masyarakat, maka ia akan disebut orang tidak beradab. 

Dengan demikian aspek belajar amat penting artinya dalam pembentukan manusia. Kebudayaan sebagai hasil belajar manusia mencakup hal yang sangat luas. Karena luasnya pengertian kebudayaan yang harus dicapai, maka berbagai ahli mendefinisikan “kebudayaan” yang berbeda – beda, baik yang di ungkapkan oleh ahli – ahli dalam bidang antropologi, maupun ahli – ahli dalam disiplin ilmu lain.

Dua orang ahli antropologi Amerika, A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn pernah mengumpulkan 160 definisi “kebudayaan” yang berbeda – beda perumusan. Dari 160 definisi kebudayaan  itu di klarifikasikan ke dalam beberapa tipe pada penulisannya yang berjudul “Culture a critical review of concepts and definition”.
Meski banyak definisi “kebudayaan” yang berbeda – beda yang telah diungkapkan oleh para ahli, namun mereka sepakat mempunyai pandangan yang sama bahwa kebudayaan adalah hasil yang dipelajari berdasarkan budi daya manusia.

Sabtu, 03 Maret 2012

Rumah Tradisional Kaili

Dahulu Rumah-rumah di daerah suku kaili di golongkan menurut lapisan status sosial penghuninya. Ada 3 macam rumah tinggal :
  1. Banua Mbaso (Souraja), yakni rumah panggung besar tempat kediaman raja dengan keluarganya, jadi dapat disamakan dengan Istana.
    bangunan ini bertiang tinggi, berlantai papan, berdinding papan, atap rumbia, dengan ukuran luas 31,46 x 11,31 meter.
    Ruangnya terdiri dari beberapa kamar dengan fungsi yang berbeda-beda. Ruang (Lonta Karavana) berfungsi sebagai tempat menerima tamu. Ruang tengah (Lonta Tatangana) terdiri dari ruang pertemua raja, Ruang tidur raja, Ruang tidur keluarga raja. Ruang belakang (Lonta Rarana) berfungsi sebagai tempat menerima tamu perempuan, tempat makan, kamar tidur pembantu. Selain itu ada lagi ruang bangunan tambahan di bagian belakang berfungsi sebagai dapur yang dihubungkan dengan bangunan induk oleh sebuah jembatan (Jambata).
  2. Banua Kataba, Yaitu rumah panggung yang agak kecil biasanya berukuran 17 x 8 meter. Rumah ini beratap rumbia, lantai dan dindingnya papan. Banua Katab Biasanya didiami oleh Keluarga Bangsawan.
  3. Tinja Kanjai, Rumah panggung yang lebih kecil lagi biasanya berukuran 5 x 4 meter. Tingginya kurang lebih 75 - 100 cm dari tanah. Rumah ini berlantai bambu, dinding gaba-gaba, atap daun rumbia atau ijuk dan semua bagian - bagiannya dihubungkan dengan pengikat rotan. rumah ini didiami oleh golongan rakyat biasa. pembagian ruangan biasanya terdiri dari 3 bagian : ruang depan merupakan tempat menerima tamu/tempat tidur tamu. ruangan tengah sebagai tempat tidur keluarga. Ruang belakang sebagai kamar makan dan dapur.
Rumah - rumah rakyat terdahulu terdiri dari 3 tingkat. Tingkat atas dekat disebut loteng (Pomoaka) dipakai untuk menyimpan bahan makanan dan benda - benda pusaka dari pemilik rumah. Tingkat tengah (Rara Banua) Sebagai tempat menerima tamu, makan, tidur dan tempat perabotan - perabotan rumah tangga. Tingkat kolong rumah (Kapeo), Berfungsi sebagai tempat menyimpan alat - alat pertanian dan ternak.

Selain itu ada lagi bangunan - bangunan tradisional yang disebut :
  1. Baruga, rumah panggung persegi panjang yang berfungsi sebagai balai pertemuan, tempat musyawarah, tempat bermalam tamu yang agak banyak, dan tempat pesta adat. bangunan ini biasa terletah di dekat istana raja (Banua Mbaso) dan hanya terdapat di ibukota kerajaan.
  2. Bantaya, yaitu ramah adat untuk upacara - upacara adat kampung, tempat menyimpan benda - benda suci di kampung dan tempat pertemuan warga kampung. Biasanya Bantaya ini dibuat secara darurat tidak berkamar - kamar.
    Gambar Bantaya
  3. Gampiri atau lumbung adalah bangunan kecil yang biasanya di samping rumah atau di dekat sawah. Gunanya untuk menyimpan padi atau jagung hasil panen.
Gambar Gampiri


Sumber : Buku Sistem tradisional Daerah Sulawesi Tengah.